Provinsi
Lampung, yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatra, memiliki sejarah panjang
dalam pembangunan infrastruktur transportasi, terutama jalan raya. Sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda, pembangunan jalan di Lampung telah menjadi bagian
penting dari kebijakan kolonial untuk memperkuat kontrol dan eksploitasi sumber
daya alam di wilayah ini.
Pembangunan
jalan raya di Lampung dimulai sejak pertengahan abad ke-19, ketika pemerintah
Hindia Belanda mulai memperluas pengaruhnya ke daerah-daerah pedalaman Sumatra.
Tujuan utamanya adalah untuk memudahkan akses ke wilayah pertanian dan
perkebunan, serta untuk mendukung perpindahan pasukan dan pengangkutan hasil
bumi, seperti lada, kopi, dan karet.
Salah
satu proyek penting pada masa ini adalah pembangunan jalan penghubung antara
Pelabuhan Teluk Betung (sekarang Bandar Lampung) ke daerah-daerah pedalaman
seperti Kedondong, Pringsewu, dan Liwa. Jalan ini menjadi jalur utama
transportasi hasil bumi ke pelabuhan untuk kemudian diekspor ke Eropa.
Program
Transmigrasi dan Peran Infrastruktur Jalan
Pada
awal abad ke-20, Hindia Belanda juga meluncurkan program kolonisasi
transmigrasi, terutama setelah letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang
menghancurkan banyak daerah di Lampung. Program ini memindahkan penduduk dari
Pulau Jawa ke Lampung untuk mengembangkan wilayah baru sebagai lahan pertanian.
Untuk
mendukung program ini, pemerintah kolonial membangun jaringan jalan dari
wilayah pesisir ke dataran tinggi di Lampung Tengah dan Lampung Timur.
Jalan-jalan ini mempermudah mobilitas penduduk dan logistik serta menjadi cikal
bakal jaringan jalan yang berkembang hingga masa kemerdekaan.
Beberapa
peta lama menunjukkan bagaimana Lampung dipetakan secara administratif dan
jalur jalan dibangun sejak abad ke‑19:
- Peta
dari Tropenmuseum menggambarkan “Jalan Trans‑Lampung” sekitar tahun
1913 yang menghubungkan Teluk Betung–Menggala
dan jalur timur hingga Palembang
- Peta
administratif dari Leiden (1914) dan setelah 1929 memperlihatkan pembagian
Afdeeling dan Onderafdeeling, pusat kontrol kolonial di
Sukadana, Menggala, Teluk Betung,
dan lain-lain
Untuk memperkuat
kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera umumnya dan Lampung khususnya,
maka Lampongsche Resindentie (Karesidenan Lampung) dibagi menjadi Afdeeling
dan Onderafdeeling. Pembagian wilayah afdeeling dan onderafdeeling di
Lampung dimulai tahun 1829, yang didasarkan pada wilayah pemukiman masyarakat
Lampung yang terkonsentrasi di kelima daerah aliran sungai besar. Dibentuk satu
wilayah Afdeeling Teluk Betung yang dikepalai oleh Asisten Residen,
kemudian di bawahnya terbagi dalam beberapa Onderafdeeling yang terdiri
dari;
- Onderafdeeling Teluk Betung, berpusat di Teluk Betung;
- Onderafdeeling Tulang Bawang, berpusat di Menggala;
- Onderafdeeling Sekampung, berpusat di Sukadana;
- Onderafdeeling Seputih, berpusat di Terbanggi, dan
- Onderafdeeling Semangka, berpusat di Tanjungan (Bornai) (dalam “Topographisce
en Geographische Beschrijving der Lampongsche Districten”, Bijdragen tot de
Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 8ste Deel, Nieuwe
Volgreeks, 4e Deel).
Pada
tahun 1864 wilayah administrasi di Karesidenan Lampung dirombak menjadi 1
(satu) afdeeling yaitu Teluk Betung, dengan 7 (tujuh) onderafdeeling yaitu:
- Onderafdeeling Teluk Betung, berpusat di Teluk Betung;
- Onderafdeeling Bumi Agung, berpusat di Pakuan Ratu;
- Onderafdeeling Tulang Bawang, berpusat di Menggala;
- Onderafdeeling Seputih, berpusat di Terbanggi;
- Onderafdeeling Sekampung, berpusat di Sukadana;
- Onderafdeeling Semangka, berpusat di Tanjung;
- Onderafdeeling Empat Marga, berpusat di Katimbang. (Regerings Almanak Voor Nederlandsch Indie, 1870).
Tahapan Pembangunan infrastruktur jalan di Lampongsche
Disctricten
infrastruktur jalan di Lampongsche Disctricten
Tahun |
Proyek
Jalan / Infrastruktur |
Tujuan
& Dampak |
1857–1861 |
Jalan
Teluk Betung–Menggala (Residen R. Wijnen) |
Mendukung
distribusi lada dari pedalaman ke pelabuhan |
~1870 |
Pelebaran
jalan setapak menjadi jalan raya formal |
Mempermudah
lalu lintas antardistrik & menghubungkan perkebunan lada |
1912–1913 |
Pembangunan
jalan raya 130 km
dari Teluk Betung ke Menggala dan
menyambung ke Palembang |
Menghemat
waktu distribusi, mendukung pelabuhan Merak-Teluk Betung |
1912 |
Diresmikannya
jalur kereta api Teluk Betung–Prabumulih (Palembang), dan
rel Tanjungkarang pada 3 Agustus 1914 |
Memperkuat
konektivitas antara Lampung dan Sumatera Selatan |
1929–1934 |
Konstruksi
jembatan beton (Kali Blau,
Jembatan Kuala, PLTD teluk) |
Mendukung
struktur jalan dan infrastruktur kelistrikan |
Tokoh
& Lembaga Terlibat dalam Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Jalan di
Lampongsche Residentie :
- Residen
R. Wijnen (1857–1861): Memprakarsai
pembangunan jalur Teluk Betung–Menggala
- A.
Pruys van der Hoeven
(~1870): Meningkatkan jalan setapak menjadi jalan raya sejajar kelancaran
arus komoditas lada
- F.G.
Dumas & J.H. Blok
(BOW/Pekerjaan Umum, sejak 1854): Merancang ekspansi jalan di luar Jawa,
termasuk Lampung, dengan pengerjaan nyata tahun 1913–1914 Staatsspoorwegen
op Zuid‑Sumatra (ZSS): Perusahaan kereta api yang meresmikan rel Teluk Betung–Panjang–Palembang
pada 1914 3)
- H.G.
Heyting (1905): Tokoh utama
program kolonisasi transmigrasi di Gedong Tataan dan pendiri desa inti, yang
juga berdekatan dengan jalur jalan raya utama
- Lembaga
yang terlibat dalam rencana Pembangunan Jalan Sumatera :
- BOW
(Burgelijke Openbare Werken)/Departemen Pekerjaan Umum sejak 1854
- Inspektorat
Lalu Lintas Jalan Raya dan Divisi Jembatan & Jalan (1908–1912), merencanakan blue‑print jalan
raya termasuk bagi Sumatera
Pembangunan
jalan raya di Lampung pada masa Hindia Belanda berkembang bertahap:
- Jalur
pertanian awal (1857–1870) mengalir ke pedalaman.
- Ekspansi
masif di abad ke‑20 (1912–1914) dengan jalan raya dan jalur kereta hingga
Palembang.
- Dukungan
terstruktur lewat badan teknik sipil dan kolaborasi antara insinyur
Belanda, Kebijakan Politik Etis, dan program kolonisasi transmigrasi.
Tokoh-tokoh
seperti Residen Wijnen, Pruys van der Hoeven, Dumas, Blok, Heyting, dan
lembaga-lembaga seperti BOW dan ZSS menjadi aktor kunci dalam pembangunan
infrastruktur ini. Jejak mereka membentuk fondasi jalan dan rel yang tetap
dipakai sampai sekarang.
Teknologi
dan Teknik Konstruksi Masa Itu
Pembangunan
jalan pada masa kolonial umumnya dilakukan secara manual dengan bantuan tenaga
kerja lokal (dalam bentuk kerja rodi atau kerja paksa), di bawah pengawasan
insinyur Belanda. Jalan yang dibangun pada masa itu sebagian besar berupa jalan
tanah dan kerikil, dengan lebar yang cukup untuk dilewati kereta kuda atau
pedati.
Memasuki
paruh kedua abad ke-19, pembangunan dan pengembangan Groote Postweg
diambil alih oleh Burgelijke Openbare Werken (BOW)/Kementerian Pekerjaan
Umum yang didirikan pada 4 November 1854. Kemunculan BOW merupakan hasil dari
proses modernisasi negara kolonial. Di samping itu, badan ini juga memberikan
dorongan pada proses tersebut. Pembentukan BOW juga menandai semakin diperhitungkannya
peran insinyur sipil lulusan Universitas Teknologi Delft. Bersama pegawai
negeri sipil, dan ahli pertanian, mereka saling bekerjasama pada tahap akhir
pembentukan negara kolonial. Pasca-1870, jalan raya semakin banyak bermunculan
di luar Jawa. F.G. Dumas dan J.H. Blok dari BOW menyatakan tujuan
digencarkannya pembangunan jalan di luar Jawa adalah untuk mempertahankan
kekuasaan, pengembangan ekonomi dan membuka akses ke daerah yang terisolasi.
Dampaknya, bermunculan perusahaan-perusahaan tambang di daerah yang sebelumnya
belum terjamah, seperti pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung. Baca
selengkapnya di artikel "Megaproyek Jalan Raya pada Masa Kolonial
Beberapa
jalur penting juga dibangun dengan mempertimbangkan kontur geografis Lampung
yang berbukit-bukit dan dilalui banyak sungai, sehingga pembangunan jembatan
menjadi bagian penting dari infrastruktur jalan.
Beberapa
ruas jalan yang dibangun pada masa Hindia Belanda masih dapat ditemukan hingga
kini, meskipun telah diperluas dan diperkeras. Contohnya adalah jalur dari
Bandar Lampung ke Liwa melalui Bukit Kemuning dan jalur dari Metro ke Way
Jepara. Jalan-jalan ini kini menjadi bagian dari sistem jalan provinsi dan
nasional yang vital bagi ekonomi Lampung.
Dari
Peta Ikhtisar kediaman Residen di Distrik Lampung (Overzichtkaart van de Residentie
Lampongsche Districten) Tahun 1927, terdapat 4 jenis jalan yaitu Jalan Raya (Autowegen),
Jalan Pedati/Gerobak (Karrewegen), Jalan Kuda (Paardenpaden) dan Jalan
Setapak (Voetpaden).
Jalan Raya (Autowegen) :
- Ruas Teloek Betoeng - Oemb.Pandjang (Oosthaven) - Tarahan – Tandjoengan - Kotadalam - Kalianda
- Kalianda - Batoebalak - Gayam – Ketapang
- Teloek Betoeng – Tandjoengkarang – Gedongtataan – Margakaja
- Gedongtataan – Kedondong – Soekamara – Tandjoengkemala
- Tandjoengkemala – Tiohmemen – Talang Padang
- Talang Padang – Kotaagoeng – Sanggi
- Padang Cermin – Boenoet
- Tandjoengkarang – Kedaton – Bergen
- Tandjoengkarang – Kedaton – Merakbatin – Boemiratoe – Goenoengsoegih
- Goenoengsoegih – Kedaton – Gedoengdalam – Soekadana
- Soekadana – Laboehanratoe – Djepara
- Soekadana – Oemb. Goeloemantong
- Goenoengsoegih – Terbanggibesar – Goenoengbatin – Menggala
- Menggala – Bandardewa
- Terbanggibesar – Blambangan- Kotaboemi
- Kotaboemi – Adjikagoengan
Gambar 1.
Essex karya ir. J.H. Brinkgreve di jalan di Lampong dekat batas wilayah sebuah
subdivisi, mungkin dekat Tjampaka (1932) (De Essex van ir J.H. Brinkgreve op een weg in
de Lampongs bij de grenspalen van een onderafdeling, vermoedelijk bij Tjampaka
(1932))
Gambar 2.
Kendaraan mobil di jalan di Karesiendenan Lampung (Auto op een weg in de
Lampoengsche Districten)
Sumber : Leiden University Libraries Digital Collections
Gambar
3. Jalan Raya melalui koloni pertanian dekat
Metro di Karesidenan Lampung (Weg door een Javaanse landbouwkolonie nabij Metro
in de Lampoengsche Districten)
Jalan Kuda (Paardenpaden):
- Margakaja – Tandjoengkemala
- Talangpadang – Tandjoengbegeloeng
- Nyampir – Gedoeng – Goenoengraja – Batoebadak – Boengkoek – Djaboeng
- Djaboeng – Negeriagoeng – Wana
- Negeri Agoeng – Laboehanmaringgai – Djepara
- Oemboel lempoeyang – Terbanggi agoeng – Mataram Oedik
- Menggala – Oemb. Goenoeng Tjahaja – Oemb. Boedjoek – Talang Batoe
- Bandar dewa – Gedoeng ratoe
- Gedoeng ratoe – Negeri besar – Negara batin – Negara ratoe -Pakoean ratoe
- Pakoean ratoe – Mesir ilir – Tandjoengraja – Goenoeng sangkaran – Negeri Batin – Goenoeng katoen
- Negeri batin – Kotawai – Kasoei
- Kasoei – Menangasiamang – Djoekoe batoe – Rantaoe temiang – Bandjarmasin – Tioeh balak
- Tioeh Balak – Goenoeng katoen
- Negeri batin – Blambangan – Goenoeng sangkaran – Toelangbawang – Mesir Ilir
- Goenoeng katoen – Gedong batin – Poelaoe batoe – Gedong meneng – Pakoean ratoe
- Hadoejangan ratoe – Negeri agoeng – Pekoeroen komering – Adji kagoengan
- Adji kagoengan – Tjahaja negeri - Oelak rengas
Jalan Setapak (Voetpaden).:
- Teloek betoeng – Lampasing – Padang tjermin
- Padang tjermin – Madja -Bawang
- Batoe balak – Pegantoengan - soemoer
- Antar berak – Tegineneng – Poetih – Pampangan – Oembar – Pekon Soesoek
- Tegineneng – Tamiang – Kagoengan
- Kota Agoeng -Pajoeng – Oeloe Beloe – OeleoSemoeoeng
- Sanggi – Oemb. Tikar berak
- Njampir – Oemb. Goeloemantoeng
- Gedongtataan – Negeri Katoen
- Tjahaja negeri – Tioeh balak
Gambar 3. Seekor Kuda di jalan Kuda di Pal 14 di Karesidenan
Lampung (Paard op de weg bij Paal 14 in de Lampoengsche Districten)
Akhir
Kata
Pembangunan
jalan raya di Lampung sejak zaman Hindia Belanda merupakan bagian dari sejarah
panjang kolonialisme, transmigrasi, dan pembangunan ekonomi. Warisan
infrastruktur ini masih menjadi tulang punggung transportasi di Lampung hingga
sekarang. Dengan pemeliharaan dan modernisasi yang terus dilakukan, jalan-jalan
bersejarah ini diharapkan tetap memainkan peran penting dalam menghubungkan
masyarakat Lampung dengan masa lalu dan masa depan.
Literatur
:
1) https://wawasansejarah.com/jalan-raya-pada-masa-kolonial/
2) Wawasan Sejarah+1KOMPAS.com+1.
3) https://wawasansejarah.com/jalan-raya-pada-masa-kolonial/
4) https://www.berandadesa.com/2023/01/onderafdeeling-soekadana
5) https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/