Jumat, 11 April 2025

Bukit Kemuning , Linimasa Persimpangan Jalan dalam Sejarah Marga Rebang Seputih di Karesidenan Lampung

Karesidenan Lampung yang terbentuk oleh rangkaian sejarah kolonialisme Belanda, bergeliat dalam pengukuhan kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera. Menjadi perlintasan menuju dunia baru di Hindia Belanda, bahkan ahli ilmu bumi Belanda menyebutkan semboyan "molukken is het verleden, java is het heden, en sumatra is de toekomst" (Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini, Sumatera adalah masa depan. Perlintasan linimasa kolonialisme Netherland yang bermula di kepulauan maluku dalam perebutan rempah-rempah, penguasaan titik tengah nusantara yaitu Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial dan Sumatera sebagai masa depan perekonomian ditanah jajahan dengan potensi sumber daya alam yang melimpah.

Upaya penaklukan Lampung sebagai sudah dimulai ketika Kesultanan Banten dapat dikalahkan dan dihapuskan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1813. Jatuhnya Kesultanan Banten memperkuat kedudukan Belanda yang menggantikan Inggris menjajah Nusantara untuk mulai memperkuat kedudukan di Lampung. Pada tahun 1829 Belanda menunjuk Residen untuk wilayah Lampung, dimana  Karesidenan Lampung dibagi menjadi lima Afdeeling yang didasarkan pada sebaran penduduk berdasarkan aliran sungai, yaitu Teluk Betung, Tulang Bawang, Sekampung, Seputih, dan Semangka. Setiap Afdeeling diawasi oleh masing-masing kontrolir yang bertugas meluaskan wilayahnya hingga ke pedalaman yang pada saat itu belum sepenuhnya tunduk kepada kolonial.

Berakhirnya perang rakyat Lampung pada abad 18 dan 19, Pemerintah Hindia Belanda akan menerapkan pemrintahan yang sentralistik. Namun hal tersebut mendapat hambatan dan tentangan dari masyarakat. Karenan pada masa itu masih berlaku kekuasaan marga yang bersifat otonom. Untuk memperkuat kepentingan ekonomi dan politik di tanah Lampung, maka pemerintah Hindia Belanda mengakomodasikan pengaturan masyarakan melalui marga-marga. Pembentukan marga-marga sampai dengan 1860an  masih berlangsung. Pembentukan, perubahan, penghapusan, pengakuan atau non-pengakuan marga beserta batas-batas wilayahnya banyak menemui kendala dan kerumitan. Tidak adanya pemerintahan lokal tunggal berpengaruh (seperti raja tunggal di Jawa), dan sangat otonomnya sifat marga-marga (meski mereka saling berkerabat), diakui Belanda sangat merepotkan mereka. Pada Tahun 1864 administrasi wilayah di Karesidenan Lampung kembali dirombak menjadi tujuh Onderafdeeling. Dengan diberlakukannya UU Agraria Hindia Belanda tahun 1870 dan kebijakan penyewaan tanah-tanah kepada pihak swasta asing, membuat pemerintah kolonial semakin mempercepat penyelesaian penataan marga-marga berikut batasan wilayahnya. Pada tahun 1880 wilayah administrasi Lampung ditata kembali menjadi dua Afdeeling (Telok Betong dan Seputih-Tulang Bawang) serta enam Onderafdeeling (Teluk Betung, Kota Agung, Kalianda, Tulang Bawang, Sekampung, dan Seputih).

Pada tahun 1910 Karesidenan Lampung telah dibagi menjadi 62 marga berdasarkan Peta Marga Indeeling Residentie Lampongsche Districten. Dimana Pasirah menjadi kepala pada masing-masing marga. 

Sumber : Marga-indeeling Residentie Lampongsche Districten, D D 14,4 (Digital collections Leiden university libraries) 

Dengan dibangunnya Jalan Raya yang menghubungkan Karesidenan Lampung dengan Karesidenan Palembang dan Karesidenan Bengkulu, Maka Pemerintah Belanda memandang perlu adanya titik persimpangan jalan raya tersebut dibangun suatu desa, oleh Kepala (Pasirah) rombongan sepuluh Almarhum antara lain Hi. Abdulrahman dan menunjuk seseorang penggarap yaitu Hi. Kontar dengan rekan-rekannya sebagai pelopor pembangunan Desa. Pada saat pendirian Desa, status pemerintahan  masih bergabung dengan Desa Ulak Rengas (Marga Rebang Seputih) pada tahun 1938 telah diakui dan disyahkan oleh pemerintah Karesidenan Lampung dengan status Kampung yang langsung bergabung dengan pemerintah Marga Rebang Seputih yang kedudukannya di Desa Ulak Rengas,  selaku pimpinan Kampung dan diangkatlah Almarhum Hi. Kontar. Setelah itu ditetapkanlah lokasi desa, saat pengerjaan jalan yang memasuki desa ditemukan sebuah bukit yang diatasnya terdapat pohon Kemuning (tepatnya didepan rumah Bapak Mantri Hamid mantan Dinas Kesehatan). Maka berdasarkan aspirasi masyarakat untuk memberi nama kampung/desa yang baru ini atas persetujuan Pemerintah Jepang pada tahun 1944 dibentuklah Kecamatan Bukit Kemuning yang meliputi Rebang Seputih yang ibukotanya di desa Bukit Kemuning yang dikepalai oleh seorang Fuku Chunoho (istilah Jepang) sama dengan Camat pada waktu kemerdekaan.

Pada Tahun 1954 Marga Rebang Seputih dibentuk kembali menjadi Negeri Semendo Abung yang dikepalai oleh seorang Kepala Negeri yang bernama Abubakar Sidiq, kemudian pada tahun 1958 sampai tahun 1962 diganti oleh Azzis Kontar sampai dengan pembubaran kenegerian pada tahun 1974. Sejak daerah itu menjadi Kecamatan pada tahun 1944 yang mewilayahi 9 desa/kampung tetapi pada tahun 1972 mengadakan pemekaran sehingga menjadi 18 desa/kampung dan dimekarkan kembali menjadi dua kecamatan yaitu :

  1. Kecamatan Bukit Kemuning
  2. Kecamatan Tanjung Raja
Bukit Kemnuning, pernah menjadi persimpangan lintas Tengah dan Lintas Barat Sumatera, menggeliat perekonomian sebagai titik pusat perdagangan sekitarnya. Letaknya strategis menjadi titik temu anntara Bandar Lampung menuju Palembang dan Bandar Lampung menuju Bengkulu. Saat ini perlahan mulai meredup dengan berkembangnya infrastruktur Jalan Lintas Timur dan terbangunnya Jalan Tol Trans Sumatera. Dengan jumlah penduduk 44.817 jiwa (6,6 % terhadap jumlah penduduk Kabupaten Lampung Utara, tahun 2023) dengan luas wilayah 163,25 km2. Dimana sebagian besar peduduknya memiliki mata pencaharian petani dan perdanganan umum. Berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Utara, Struktur Ruang Bukit Kemuning merupakan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang berfungsi sebagai Pusat Perdagangan dan Pusat Pengolahan Hasil Pertanian. Saat ini dengan adanya perkembangan perekonomian antar kawasan yang pesat di Provinsi Lampung, perlu adanya revitalisasi infrastruktur publik yang ada dan perubahan arah pengembangan kawasan (penyesuaian atau perubahan strategi, tujuan, dan pendekatan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah). Sehingga Bukit Kemuning dapat memberikan dampak yang signifikan dalam peningkatan pendapatan, pemerataan pembangunan dan peningkatan terhadap peran masyarakat dalam pembangangunan di Kabupaten Lampung Utara. 

Next penulis akan membahas tentang 4 kemargaan suku Semendo di Karesidenan Lampung (Marga Rebang Kasui, Marga Way Tenong, Marga Rebang Seputih dan Marga Rebang Pugung)

 
sumber : 
  • Kian Amboro- Pegiat Sejarah https://www.berandadesa.com/2022/09/marga-stelsel-strategi pemerintah.html
  • Digital Collections University Leiden Libraries.
Catatan kecil :
Tulisan ini menjadi bagian dari merawat ingatan terhadap Kakek kami Alm Tjik Oemi Bin Runiat (1913-1996). Beliau adalah seoarang Guru yang mengajar sejak umur 16 tahun, pertama kali mengajar  didaerah Semendo Darat (sekarang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan) dan berpindah ke Bukit Kemuning sekitar tahun 1935-1940 (sebelum masa penjajahan Jepang) mengikuti jejak Uwaknya Alm H Kontar yang menjadi Kepala Kampung Bukit Kemuning. Awal kepindahan kakek kami Alm Tjik Oemi mengajar di Sekolah Rakyat Cahaya Negeri, kemudian mendirikan Sekolah Rakyat No 2 Di Bukit Kemuning sampai pensiun (sekarang menjadi SDN 02 Bukit Kemuning).
Sumber : Dokumentasi Perpisahan Sekolah Rakyat 2 Bukit Kemuning tahun 1955
       



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SIMAK ARTIKEL LAIN YANG MENYENANGKAN....