Jumat, 18 Juli 2025

Tonggak Pembangunan Infrastruktur Jalan di Provinsi Lampung dari Masa ke Masa

 


 
Sejarah Pembangunan Jalan Raya di Lampung Sejak Zaman Hindia Belanda

Provinsi Lampung, yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatra, memiliki sejarah panjang dalam pembangunan infrastruktur transportasi, terutama jalan raya. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pembangunan jalan di Lampung telah menjadi bagian penting dari kebijakan kolonial untuk memperkuat kontrol dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah ini.

Pembangunan jalan raya di Lampung dimulai sejak pertengahan abad ke-19, ketika pemerintah Hindia Belanda mulai memperluas pengaruhnya ke daerah-daerah pedalaman Sumatra. Tujuan utamanya adalah untuk memudahkan akses ke wilayah pertanian dan perkebunan, serta untuk mendukung perpindahan pasukan dan pengangkutan hasil bumi, seperti lada, kopi, dan karet.

Salah satu proyek penting pada masa ini adalah pembangunan jalan penghubung antara Pelabuhan Teluk Betung (sekarang Bandar Lampung) ke daerah-daerah pedalaman seperti Kedondong, Pringsewu, dan Liwa. Jalan ini menjadi jalur utama transportasi hasil bumi ke pelabuhan untuk kemudian diekspor ke Eropa.

 

Program Transmigrasi dan Peran Infrastruktur Jalan

Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda juga meluncurkan program kolonisasi transmigrasi, terutama setelah letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang menghancurkan banyak daerah di Lampung. Program ini memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung untuk mengembangkan wilayah baru sebagai lahan pertanian.

Untuk mendukung program ini, pemerintah kolonial membangun jaringan jalan dari wilayah pesisir ke dataran tinggi di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Jalan-jalan ini mempermudah mobilitas penduduk dan logistik serta menjadi cikal bakal jaringan jalan yang berkembang hingga masa kemerdekaan.

Beberapa peta lama menunjukkan bagaimana Lampung dipetakan secara administratif dan jalur jalan dibangun sejak abad ke‑19:

  • Peta dari Tropenmuseum menggambarkan “Jalan Trans‑Lampung” sekitar tahun 1913 yang menghubungkan TelukBetungMenggala dan jalur timur hingga Palembang
  • Peta administratif dari Leiden (1914) dan setelah 1929 memperlihatkan pembagian Afdeeling dan Onderafdeeling, pusat kontrol kolonial di Sukadana, Menggala, TelukBetung, dan lain-lain

Untuk memperkuat kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera umumnya dan Lampung khususnya, maka Lampongsche Resindentie (Karesidenan Lampung) dibagi menjadi Afdeeling dan Onderafdeeling. Pembagian wilayah afdeeling dan onderafdeeling di Lampung dimulai tahun 1829, yang didasarkan pada wilayah pemukiman masyarakat Lampung yang terkonsentrasi di kelima daerah aliran sungai besar. Dibentuk satu wilayah Afdeeling Teluk Betung yang dikepalai oleh Asisten Residen, kemudian di bawahnya terbagi dalam beberapa Onderafdeeling yang terdiri dari;

  1. Onderafdeeling Teluk Betung, berpusat di Teluk Betung;
  2. Onderafdeeling Tulang Bawang, berpusat di Menggala;
  3. Onderafdeeling Sekampung, berpusat di Sukadana;
  4. Onderafdeeling Seputih, berpusat di Terbanggi, dan
  5. Onderafdeeling Semangka, berpusat di Tanjungan (Bornai) (dalam “Topographisce en Geographische Beschrijving der Lampongsche Districten”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 8ste Deel, Nieuwe Volgreeks, 4e Deel).

Pada tahun 1864 wilayah administrasi di Karesidenan Lampung dirombak menjadi 1 (satu) afdeeling yaitu Teluk Betung, dengan 7 (tujuh) onderafdeeling yaitu:

  1. Onderafdeeling Teluk Betung, berpusat di Teluk Betung;
  2. Onderafdeeling Bumi Agung, berpusat di Pakuan Ratu;
  3. Onderafdeeling Tulang Bawang, berpusat di Menggala;
  4. Onderafdeeling Seputih, berpusat di Terbanggi;
  5. Onderafdeeling Sekampung, berpusat di Sukadana;
  6. Onderafdeeling Semangka, berpusat di Tanjung;
  7. Onderafdeeling Empat Marga, berpusat di Katimbang. (Regerings Almanak Voor Nederlandsch Indie, 1870).

 


 

                                 Sumber : Leiden University Libraries Digital Collections

Tahapan Pembangunan infrastruktur jalan di Lampongsche Disctricten

infrastruktur jalan di Lampongsche Disctricten

Tahun

Proyek Jalan / Infrastruktur

Tujuan & Dampak

1857–1861

Jalan TelukBetungMenggala (Residen R. Wijnen)

Mendukung distribusi lada dari pedalaman ke pelabuhan

~1870

Pelebaran jalan setapak menjadi jalan raya formal

Mempermudah lalu lintas antardistrik & menghubungkan perkebunan lada

1912–1913

Pembangunan jalan raya 130km dari TelukBetung ke Menggala dan menyambung ke Palembang

Menghemat waktu distribusi, mendukung pelabuhan Merak-TelukBetung

1912

Diresmikannya jalur kereta api TelukBetungPrabumulih (Palembang), dan rel Tanjungkarang pada 3 Agustus 1914

Memperkuat konektivitas antara Lampung dan Sumatera Selatan

1929–1934

Konstruksi jembatan beton (KaliBlau, Jembatan Kuala, PLTD teluk)

Mendukung struktur jalan dan infrastruktur kelistrikan

 

Tokoh & Lembaga Terlibat dalam Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Jalan di Lampongsche Residentie :

  1. Residen R. Wijnen (1857–1861): Memprakarsai pembangunan jalur TelukBetungMenggala  
  2. A. Pruys van der Hoeven (~1870): Meningkatkan jalan setapak menjadi jalan raya sejajar kelancaran arus komoditas lada
  3. F.G. Dumas & J.H. Blok (BOW/Pekerjaan Umum, sejak 1854): Merancang ekspansi jalan di luar Jawa, termasuk Lampung, dengan pengerjaan nyata tahun 1913–1914 Staatsspoorwegen op Zuid‑Sumatra (ZSS): Perusahaan kereta api yang meresmikan rel TelukBetungPanjangPalembang pada 1914 3)
  4. H.G. Heyting (1905): Tokoh utama program kolonisasi transmigrasi di GedongTataan dan pendiri desa inti, yang juga berdekatan dengan jalur jalan raya utama
  5. Lembaga yang terlibat dalam rencana Pembangunan Jalan Sumatera :
    • BOW (Burgelijke Openbare Werken)/Departemen Pekerjaan Umum sejak 1854
    • Inspektorat Lalu Lintas Jalan Raya dan Divisi Jembatan & Jalan (1908–1912), merencanakan blue‑print jalan raya termasuk bagi Sumatera

 

Pembangunan jalan raya di Lampung pada masa Hindia Belanda berkembang bertahap:

  1. Jalur pertanian awal (1857–1870) mengalir ke pedalaman.
  2. Ekspansi masif di abad ke‑20 (1912–1914) dengan jalan raya dan jalur kereta hingga Palembang.
  3. Dukungan terstruktur lewat badan teknik sipil dan kolaborasi antara insinyur Belanda, Kebijakan Politik Etis, dan program kolonisasi transmigrasi.

Tokoh-tokoh seperti Residen Wijnen, Pruys van der Hoeven, Dumas, Blok, Heyting, dan lembaga-lembaga seperti BOW dan ZSS menjadi aktor kunci dalam pembangunan infrastruktur ini. Jejak mereka membentuk fondasi jalan dan rel yang tetap dipakai sampai sekarang.

 

Teknologi dan Teknik Konstruksi Masa Itu

Pembangunan jalan pada masa kolonial umumnya dilakukan secara manual dengan bantuan tenaga kerja lokal (dalam bentuk kerja rodi atau kerja paksa), di bawah pengawasan insinyur Belanda. Jalan yang dibangun pada masa itu sebagian besar berupa jalan tanah dan kerikil, dengan lebar yang cukup untuk dilewati kereta kuda atau pedati.

Memasuki paruh kedua abad ke-19, pembangunan dan pengembangan Groote Postweg diambil alih oleh Burgelijke Openbare Werken (BOW)/Kementerian Pekerjaan Umum yang didirikan pada 4 November 1854. Kemunculan BOW merupakan hasil dari proses modernisasi negara kolonial. Di samping itu, badan ini juga memberikan dorongan pada proses tersebut. Pembentukan BOW juga menandai semakin diperhitungkannya peran insinyur sipil lulusan Universitas Teknologi Delft. Bersama pegawai negeri sipil, dan ahli pertanian, mereka saling bekerjasama pada tahap akhir pembentukan negara kolonial. Pasca-1870, jalan raya semakin banyak bermunculan di luar Jawa. F.G. Dumas dan J.H. Blok dari BOW menyatakan tujuan digencarkannya pembangunan jalan di luar Jawa adalah untuk mempertahankan kekuasaan, pengembangan ekonomi dan membuka akses ke daerah yang terisolasi. Dampaknya, bermunculan perusahaan-perusahaan tambang di daerah yang sebelumnya belum terjamah, seperti pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung. Baca selengkapnya di artikel "Megaproyek Jalan Raya pada Masa Kolonial

Beberapa jalur penting juga dibangun dengan mempertimbangkan kontur geografis Lampung yang berbukit-bukit dan dilalui banyak sungai, sehingga pembangunan jembatan menjadi bagian penting dari infrastruktur jalan.

 

Beberapa ruas jalan yang dibangun pada masa Hindia Belanda masih dapat ditemukan hingga kini, meskipun telah diperluas dan diperkeras. Contohnya adalah jalur dari Bandar Lampung ke Liwa melalui Bukit Kemuning dan jalur dari Metro ke Way Jepara. Jalan-jalan ini kini menjadi bagian dari sistem jalan provinsi dan nasional yang vital bagi ekonomi Lampung.

 Selain itu, pola pembangunan jalan kolonial masih memengaruhi tata ruang wilayah, di mana banyak kota dan desa berkembang di sepanjang jalur-jalur utama tersebut.

 

      Sumber : Leiden University Libraries Digital Collections

Dari Peta Ikhtisar kediaman Residen di Distrik Lampung (Overzichtkaart van de Residentie Lampongsche Districten) Tahun 1927, terdapat 4 jenis jalan yaitu Jalan Raya (Autowegen), Jalan Pedati/Gerobak (Karrewegen), Jalan Kuda (Paardenpaden) dan Jalan Setapak (Voetpaden).

Jalan Raya (Autowegen) :

  1. Ruas Teloek Betoeng - Oemb.Pandjang (Oosthaven) - Tarahan – Tandjoengan -  Kotadalam - Kalianda
  2. Kalianda -  Batoebalak -  Gayam – Ketapang
  3. Teloek Betoeng – Tandjoengkarang – Gedongtataan – Margakaja
  4. Gedongtataan – Kedondong – Soekamara – Tandjoengkemala
  5. Tandjoengkemala – Tiohmemen – Talang Padang
  6. Talang Padang – Kotaagoeng – Sanggi
  7. Padang Cermin – Boenoet
  8. Tandjoengkarang – Kedaton – Bergen
  9. Tandjoengkarang – Kedaton – Merakbatin – Boemiratoe – Goenoengsoegih
  10. Goenoengsoegih – Kedaton – Gedoengdalam – Soekadana
  11. Soekadana – Laboehanratoe – Djepara
  12. Soekadana – Oemb. Goeloemantong
  13. Goenoengsoegih – Terbanggibesar – Goenoengbatin – Menggala
  14. Menggala – Bandardewa
  15. Terbanggibesar – Blambangan- Kotaboemi
  16. Kotaboemi – Adjikagoengan



Gambar 1. Essex karya ir. J.H. Brinkgreve di jalan di Lampong dekat batas wilayah sebuah subdivisi, mungkin dekat Tjampaka (1932)  (De Essex van ir J.H. Brinkgreve op een weg in de Lampongs bij de grenspalen van een onderafdeling, vermoedelijk bij Tjampaka (1932))

                                      Sumber : Leiden University Libraries Digital Collections,

Gambar 2. Kendaraan mobil di jalan di Karesiendenan Lampung (Auto op een weg in de Lampoengsche Districten)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                            Sumber : Leiden University Libraries Digital Collections

  



Gambar 3.  Jalan Raya melalui koloni pertanian dekat Metro di Karesidenan Lampung (Weg door een Javaanse landbouwkolonie nabij Metro in de Lampoengsche Districten)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                        Sumber : Leiden University Libraries Digital Collections


Jalan Kuda (Paardenpaden):

  1. Margakaja – Tandjoengkemala
  2. Talangpadang – Tandjoengbegeloeng
  3. Nyampir – Gedoeng – Goenoengraja – Batoebadak – Boengkoek – Djaboeng
  4. Djaboeng – Negeriagoeng – Wana
  5. Negeri Agoeng – Laboehanmaringgai – Djepara
  6. Oemboel lempoeyang – Terbanggi agoeng – Mataram Oedik
  7. Menggala – Oemb. Goenoeng Tjahaja – Oemb. Boedjoek – Talang Batoe
  8. Bandar dewa – Gedoeng ratoe
  9. Gedoeng ratoe – Negeri besar – Negara batin – Negara ratoe -Pakoean ratoe
  10. Pakoean ratoe – Mesir ilir – Tandjoengraja – Goenoeng sangkaran – Negeri Batin – Goenoeng katoen
  11. Negeri batin – Kotawai – Kasoei
  12. Kasoei – Menangasiamang – Djoekoe batoe – Rantaoe temiang – Bandjarmasin – Tioeh balak
  13. Tioeh Balak – Goenoeng katoen
  14. Negeri batin – Blambangan – Goenoeng sangkaran – Toelangbawang – Mesir Ilir
  15. Goenoeng katoen – Gedong batin – Poelaoe batoe – Gedong meneng – Pakoean ratoe
  16. Hadoejangan ratoe – Negeri agoeng – Pekoeroen komering – Adji kagoengan
  17. Adji kagoengan – Tjahaja negeri - Oelak rengas

 

Jalan Setapak (Voetpaden).:

  1. Teloek betoeng – Lampasing – Padang tjermin
  2. Padang tjermin – Madja -Bawang
  3. Batoe balak – Pegantoengan - soemoer
  4. Antar berak – Tegineneng – Poetih – Pampangan – Oembar – Pekon Soesoek
  5. Tegineneng – Tamiang – Kagoengan
  6. Kota Agoeng -Pajoeng – Oeloe Beloe – OeleoSemoeoeng
  7. Sanggi – Oemb. Tikar berak
  8. Njampir – Oemb. Goeloemantoeng
  9. Gedongtataan – Negeri Katoen
  10. Tjahaja negeri – Tioeh balak

 

Gambar 3. Seekor Kuda di jalan Kuda di Pal 14 di Karesidenan Lampung (Paard op de weg bij Paal 14 in de Lampoengsche Districten)


 

                                     Sumber : Leiden University Libraries Digital Collections



Akhir Kata

Pembangunan jalan raya di Lampung sejak zaman Hindia Belanda merupakan bagian dari sejarah panjang kolonialisme, transmigrasi, dan pembangunan ekonomi. Warisan infrastruktur ini masih menjadi tulang punggung transportasi di Lampung hingga sekarang. Dengan pemeliharaan dan modernisasi yang terus dilakukan, jalan-jalan bersejarah ini diharapkan tetap memainkan peran penting dalam menghubungkan masyarakat Lampung dengan masa lalu dan masa depan.

 

Literatur :

1)      https://wawasansejarah.com/jalan-raya-pada-masa-kolonial/

2)      Wawasan Sejarah+1KOMPAS.com+1.

3)      https://wawasansejarah.com/jalan-raya-pada-masa-kolonial/

4)      https://www.berandadesa.com/2023/01/onderafdeeling-soekadana

5)      https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Jumat, 11 April 2025

Bukit Kemuning , Linimasa Persimpangan Jalan dalam Sejarah Marga Rebang Seputih di Karesidenan Lampung

Karesidenan Lampung yang terbentuk oleh rangkaian sejarah kolonialisme Belanda, bergeliat dalam pengukuhan kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera. Menjadi perlintasan menuju dunia baru di Hindia Belanda, bahkan ahli ilmu bumi Belanda menyebutkan semboyan "molukken is het verleden, java is het heden, en sumatra is de toekomst" (Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini, Sumatera adalah masa depan. Perlintasan linimasa kolonialisme Netherland yang bermula di kepulauan maluku dalam perebutan rempah-rempah, penguasaan titik tengah nusantara yaitu Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial dan Sumatera sebagai masa depan perekonomian ditanah jajahan dengan potensi sumber daya alam yang melimpah.

Upaya penaklukan Lampung sebagai sudah dimulai ketika Kesultanan Banten dapat dikalahkan dan dihapuskan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1813. Jatuhnya Kesultanan Banten memperkuat kedudukan Belanda yang menggantikan Inggris menjajah Nusantara untuk mulai memperkuat kedudukan di Lampung. Pada tahun 1829 Belanda menunjuk Residen untuk wilayah Lampung, dimana  Karesidenan Lampung dibagi menjadi lima Afdeeling yang didasarkan pada sebaran penduduk berdasarkan aliran sungai, yaitu Teluk Betung, Tulang Bawang, Sekampung, Seputih, dan Semangka. Setiap Afdeeling diawasi oleh masing-masing kontrolir yang bertugas meluaskan wilayahnya hingga ke pedalaman yang pada saat itu belum sepenuhnya tunduk kepada kolonial.

Berakhirnya perang rakyat Lampung pada abad 18 dan 19, Pemerintah Hindia Belanda akan menerapkan pemrintahan yang sentralistik. Namun hal tersebut mendapat hambatan dan tentangan dari masyarakat. Karenan pada masa itu masih berlaku kekuasaan marga yang bersifat otonom. Untuk memperkuat kepentingan ekonomi dan politik di tanah Lampung, maka pemerintah Hindia Belanda mengakomodasikan pengaturan masyarakan melalui marga-marga. Pembentukan marga-marga sampai dengan 1860an  masih berlangsung. Pembentukan, perubahan, penghapusan, pengakuan atau non-pengakuan marga beserta batas-batas wilayahnya banyak menemui kendala dan kerumitan. Tidak adanya pemerintahan lokal tunggal berpengaruh (seperti raja tunggal di Jawa), dan sangat otonomnya sifat marga-marga (meski mereka saling berkerabat), diakui Belanda sangat merepotkan mereka. Pada Tahun 1864 administrasi wilayah di Karesidenan Lampung kembali dirombak menjadi tujuh Onderafdeeling. Dengan diberlakukannya UU Agraria Hindia Belanda tahun 1870 dan kebijakan penyewaan tanah-tanah kepada pihak swasta asing, membuat pemerintah kolonial semakin mempercepat penyelesaian penataan marga-marga berikut batasan wilayahnya. Pada tahun 1880 wilayah administrasi Lampung ditata kembali menjadi dua Afdeeling (Telok Betong dan Seputih-Tulang Bawang) serta enam Onderafdeeling (Teluk Betung, Kota Agung, Kalianda, Tulang Bawang, Sekampung, dan Seputih).

Pada tahun 1910 Karesidenan Lampung telah dibagi menjadi 62 marga berdasarkan Peta Marga Indeeling Residentie Lampongsche Districten. Dimana Pasirah menjadi kepala pada masing-masing marga. 

Sumber : Marga-indeeling Residentie Lampongsche Districten, D D 14,4 (Digital collections Leiden university libraries) 

Dengan dibangunnya Jalan Raya yang menghubungkan Karesidenan Lampung dengan Karesidenan Palembang dan Karesidenan Bengkulu, Maka Pemerintah Belanda memandang perlu adanya titik persimpangan jalan raya tersebut dibangun suatu desa, oleh Kepala (Pasirah) rombongan sepuluh Almarhum antara lain Hi. Abdulrahman dan menunjuk seseorang penggarap yaitu Hi. Kontar dengan rekan-rekannya sebagai pelopor pembangunan Desa. Pada saat pendirian Desa, status pemerintahan  masih bergabung dengan Desa Ulak Rengas (Marga Rebang Seputih) pada tahun 1938 telah diakui dan disyahkan oleh pemerintah Karesidenan Lampung dengan status Kampung yang langsung bergabung dengan pemerintah Marga Rebang Seputih yang kedudukannya di Desa Ulak Rengas,  selaku pimpinan Kampung dan diangkatlah Almarhum Hi. Kontar. Setelah itu ditetapkanlah lokasi desa, saat pengerjaan jalan yang memasuki desa ditemukan sebuah bukit yang diatasnya terdapat pohon Kemuning (tepatnya didepan rumah Bapak Mantri Hamid mantan Dinas Kesehatan). Maka berdasarkan aspirasi masyarakat untuk memberi nama kampung/desa yang baru ini atas persetujuan Pemerintah Jepang pada tahun 1944 dibentuklah Kecamatan Bukit Kemuning yang meliputi Rebang Seputih yang ibukotanya di desa Bukit Kemuning yang dikepalai oleh seorang Fuku Chunoho (istilah Jepang) sama dengan Camat pada waktu kemerdekaan.

Pada Tahun 1954 Marga Rebang Seputih dibentuk kembali menjadi Negeri Semendo Abung yang dikepalai oleh seorang Kepala Negeri yang bernama Abubakar Sidiq, kemudian pada tahun 1958 sampai tahun 1962 diganti oleh Azzis Kontar sampai dengan pembubaran kenegerian pada tahun 1974. Sejak daerah itu menjadi Kecamatan pada tahun 1944 yang mewilayahi 9 desa/kampung tetapi pada tahun 1972 mengadakan pemekaran sehingga menjadi 18 desa/kampung dan dimekarkan kembali menjadi dua kecamatan yaitu :

  1. Kecamatan Bukit Kemuning
  2. Kecamatan Tanjung Raja
Bukit Kemnuning, pernah menjadi persimpangan lintas Tengah dan Lintas Barat Sumatera, menggeliat perekonomian sebagai titik pusat perdagangan sekitarnya. Letaknya strategis menjadi titik temu anntara Bandar Lampung menuju Palembang dan Bandar Lampung menuju Bengkulu. Saat ini perlahan mulai meredup dengan berkembangnya infrastruktur Jalan Lintas Timur dan terbangunnya Jalan Tol Trans Sumatera. Dengan jumlah penduduk 44.817 jiwa (6,6 % terhadap jumlah penduduk Kabupaten Lampung Utara, tahun 2023) dengan luas wilayah 163,25 km2. Dimana sebagian besar peduduknya memiliki mata pencaharian petani dan perdanganan umum. Berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Utara, Struktur Ruang Bukit Kemuning merupakan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang berfungsi sebagai Pusat Perdagangan dan Pusat Pengolahan Hasil Pertanian. Saat ini dengan adanya perkembangan perekonomian antar kawasan yang pesat di Provinsi Lampung, perlu adanya revitalisasi infrastruktur publik yang ada dan perubahan arah pengembangan kawasan (penyesuaian atau perubahan strategi, tujuan, dan pendekatan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah). Sehingga Bukit Kemuning dapat memberikan dampak yang signifikan dalam peningkatan pendapatan, pemerataan pembangunan dan peningkatan terhadap peran masyarakat dalam pembangangunan di Kabupaten Lampung Utara. 

Next penulis akan membahas tentang 4 kemargaan suku Semendo di Karesidenan Lampung (Marga Rebang Kasui, Marga Way Tenong, Marga Rebang Seputih dan Marga Rebang Pugung)

 
sumber : 
  • Kian Amboro- Pegiat Sejarah https://www.berandadesa.com/2022/09/marga-stelsel-strategi pemerintah.html
  • Digital Collections University Leiden Libraries.
Catatan kecil :
Tulisan ini menjadi bagian dari merawat ingatan terhadap Kakek kami Alm Tjik Oemi Bin Runiat (1913-1996). Beliau adalah seoarang Guru yang mengajar sejak umur 16 tahun, pertama kali mengajar  didaerah Semendo Darat (sekarang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan) dan berpindah ke Bukit Kemuning sekitar tahun 1935-1940 (sebelum masa penjajahan Jepang) mengikuti jejak Uwaknya Alm H Kontar yang menjadi Kepala Kampung Bukit Kemuning. Awal kepindahan kakek kami Alm Tjik Oemi mengajar di Sekolah Rakyat Cahaya Negeri, kemudian mendirikan Sekolah Rakyat No 2 Di Bukit Kemuning sampai pensiun (sekarang menjadi SDN 02 Bukit Kemuning).
Sumber : Dokumentasi Perpisahan Sekolah Rakyat 2 Bukit Kemuning tahun 1955
       



Senin, 03 Maret 2025

Pertentangan dan Keselarasan Pembangunan dalam aspek Lingkungan Hidup

Isu-isu tentang lingkungan hidup selalu menjadi hal yang hangat untuk diangkat, baik media mainstream atau hanya sekedar topik sesaat diruang-ruang coffee cafe yang semakin menjamur. La nina dan el nino, efek rumah kaca, deforestasi yang lebih akrab ditelinga dengan penggundulan hutan, banjir dan tanah longsor bagai duet bencana alam, sekarang menjadi bahasan sehari-hari dan tidak lagi menjadi topik bahasan serius sampai ke forum sekelas Konferensi Rio 1992.

 


Saat tanggal 24 mei 2024 terjadi banjir dan tanah longsor yang melanda Kabupaten Tanggamus, ruas jalan provinsi yang menghubungkan Kecamatan Talang Padang menuju Kecamatan Ulu Belu terputus karena tertutup material longsor. Sementara beberapa titik daerah sempadan sungai yang menuju ke teluk Semaka, tak luput dari luapan debit banjir yang berawal dari limpasan air hujan. Sepanjang bulan Januari – Februari 2025 beberapa kali Kota Bandar Lampung juga dari terdampak banjir yang disebabkan oleh tingginya curah hujan.

  • Pertanyaan besarnya :Apakah bencana alam banjir dan tanah longsor terjadi akibat perubahan tata guna lahan?
  • Bagaimana efek laju pembangunan infrastruktur, perubahan fungsi lahan berbanding dengan upaya konservasi
  • Apakah pembangunan tidak akan pernah sejalan dengan konservasi lahan

 

Perubahan Tata Guna Lahan, sebuah pertentangan atau keselarasan dalam Pembangunan

Provinsi Lampung merupakan gerbang Sumatera memiliki nilai strategis sebagai titik perlintasan gerbong ekonomi Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, aktivitas manusia dan barang hampir 24 jam melintasi Lampung yang merupakan titik temu Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Barang mentah mejadi andalan Pulau Sumatera akan berpindah menuju Pulau Jawa dan barang jadi melintasi sepanjang jalur-jalur Jalan Pulau  Sumatera dari Pulau Jawa, Hal ini semakin menggeliat dengan terhubungnya Toll Jawa dengan sebagian Toll Sumatera yang membentuk kantong-kantong baru pusat perekonomian.  Perkembangan perekonomian Pulau Jawa tentu sangat bergantung dengan dukungan dari daerah sekitarnya (hinterland), Dimana Pulau Sumatera merupakan Kawasan terdekat yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh pengembangan Kawasan perekonomian (Industri, perkantoran, perdagangan, pariwisata) di Pulau Jawa.

 Tentunya Provinsi Lampung yang menjadi titik awal pertemuan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa terdorong dengan aktivitas perkembangan perekonomian tersebut, dengan terbentuknya Kawasan-kawasan indusri baru, perluasan ekonomi hijau (Perkebunan) yang mendukung skala industri (sawit, karet, singkong) dan peningkatan produksi pangan (padi dan ternak) yang juga sangat dibutuhkan oleh Kawasan perekonomian di Pulau Jawa. Kawasan perkotaan di Lampung akan berkembang seiring dengan meningkatnya dengan perkembangan geliat perekonomian.

Kepadatan penduduk pada daerah tertentu akan memiliki efek samping terkait dengan permasalahan kependudukan, antara lain:

  1.    Munculnya kawasan-kawasan kumuh kota dengan rumah-rumah yang tidak layak huni.
  2.  Tingginya kompetisi di dunia kerja.
  3.  Turunnya kualitas lingkungan.
  4.  Terganggunya stabilitas keamanan.

 

Kepadatan penduduk sangat berkaitan dengan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk, sementara jumlah penduduk yang bertambah tetapi luas lahan yang tersedia tidak akan berubah.  Setiap manusia memerlukan ruang untuk menyediakan semua kebutuhannya (pangan, sandang, papan).

Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali dari kawasan yang penuh dengan vegetasi  menjadi kawasan yang terbuka memberikan peningkatan perubahan koefisien tutupan lahan secara signifikan.  Akibatnya infiltrasi dan perkolasi air dalam tanah berkurang yang disebabkan oleh perubahan koefisien tutupan. Limpasan air hujan (surface run off) yang smakin meningkat tidak mampu ditampung oleh badan-badan air (sungai, embung, rawa-rawa), sehingga daerah yang sebelumnya tidak mengalami genangan banjir mengalami bencana alam banjir, daerah yang selama ini memilik waktu genangan yang singkat menjadi lama surut. Limpasan air permukaan yang tidak terkendali juga menyebabkan tanah tergerus dan longsor.

Pada akhirnya, perubahan tata guna lahan yang tidak dapat dikendalikan karena tidak konsisten nya kita dalam menjalankan aturan fungsi ruang yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.

  

Pembangunan berkelanjutan yang berbasis lingkungan

Pengembangan wilayah dengan pembangunan infrastruktur adalah keniscayaan dari sebuah perubahan peradaban, tak dapat dihalangi sepanjang umat manusia masih ada di bumi. Kepentingan ekonomi masih menjadi jenderal perubahan dunia. Tetapi perlahan mulai ada perubahan, manusia merasa ada yang dlhilang disekitarnya. Suara kicau burung, pemandangan hijau yang terhampar, bahkan sedikit keheningan. Udara mulai tercemar, sumber air baku berkurang baik kualitas maupun kuantitas (too much, too short, too waste), daya dukung alam tak mampu mengikuti kebutuhan, sementara daya tampung semakin berkurang karena tak memiliki batasan maksimal pemanfaatan ruang.  Perlu pemikiran out of the box, pembangunan bukanlah musuh lingkungan. Dibutuhkan Upaya menyusun keselarasan dan kemajuan dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (prof Soeriaatmadja, R.E.) 

 

Ada beberapa catatan menuju perubahan stigma Pembangunan memberikan dampak negative terhadap lingkungan, yaitu :

  • Perencanaan penataan ruang baik yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, memenuhi aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.
  • Konsistensi dalam penerapan perencanaan penataan ruang akan dapat memberikan dampak keharmonisan antara pembangunan infrastruktur dan kelestarian alam
  • Penanganan konstruksi melalui pengendalian banjir (perkuatan tanggul, pengerukan sedimentasi Sungai, sudetan, banjir kanal, waduk atau embung). Diperlukan juga pendekatan non konstruksi melalui penataan Daerah Aliran Sungai (DAS)  dengan mengembalikannya  fungsi tangkapan hujan, pembangunan  dengan memenuhi aspek Low impact Development (LID) yaitu Pembangunan yang memberikan dampak minimal kerusakan terhadap lingkungan, dimana dalam pembangunan infrastruktur mendekati fungsi-fungsi alam (konservasi sumber daya air dan konservasi vegetasi).

 

 



SIMAK ARTIKEL LAIN YANG MENYENANGKAN....